"Bali Wae Neng Jogja"
Setiap teringat romantika Jogja yang khas dan memorable, baik karena mendengar lagu, berita atau kebetulan terbaca quote apapun terkait Jogja, saya selalu teringat dengan sebaris kalimat sugestif dengan pilihan diksi yang menurut saya sangat cerdas, "Bali Wae Neng Jogja".
Kalimat sederhana yang tersusun dari 4 (empat) kosakata berbahasa Jawa ngoko yang berarti "pulang saja ke jogja" ini, bagi saya layaknya ucapan seorang ibu yang berdiri di depan pintu dengan senyuman terindah dan tangan terbuka siap menyambut anaknya yang rindu dengan pelukan terhangatnya!
Itulah yang saya angankan ketika ingat Jogja! Kota berbudaya yang selalu menawarkan hangatnya "pelukan" seorang ibu pertiwi khas dengan balutan adat istiadat dan unggah-ungguh budaya masyarakat Jawa yang tetap terjaga dan terpelihara dengan baik ditengah dinamika sosial masyarakatnya yang terus bergerak konvergenmenuju era milenial. Yuk, pulang ke Jogja!
Selain dari segi makna dalam bahasa Jawa yang sugestif dan begitu meneduhkan, ada lagi yang menarik dari kalimat "Bali Wae Neng Jogja" ini, khususnya dari sisi design visual-nya di beberapa produk souvenir seperti kaos, gantungan kunci, sticker, booklet dll. Dari design-nya, kita akan menemukan sebuah pesan lain dari kalimat “Bali Wae Neng Jogja” ini.
Kata Bali yang dicetak dengan jenis font berbeda dari 3 (tiga) kata yang lain (sepertinya) jelas merujuk pada Bali sebagai pulau dewata, destinasi wisata budaya populer milik Indonesia lainnya. Hal ini diperkuat dengan tampilan 2 (dua) kuntum bunga kamboja berwarna putih kekuning-Kuningan yang memang identik dengan hiasan pemanis di telinga penari Bali. Lantas Maksudnya apa?
Jika kata Bali dimaknai sebagai Bali Pulau Dewata, maka secara bebas kalimat "Bali Wae Neng Jogja" bisa dimaknai sebagai (indahnya destinasi wisata) Bali juga ada di Jogjakarta. Naaaah ini dia! Menurut saya ini hebat! Artinya, masyarakat Jogjakarta “mengerti dan memahami” potensi besar kampung halaman mereka, bahkan mereka berani menyejajarkan diri dengan salah satu destinasi wisata kelas dunia, Bali!
Tanpa bermaksud membanding-bandingkan dengan Bali yang saya yakin masing-masing pasti mempunyai kekhasan, sisi unik dan menariknya sendiri-sendiri, Jogja memang layak menjadi destinasi wisata alam dan budaya layaknya Pulau Dewata yang termasyhur di dunia, karena Jogja memang mempunyai segalanya, sehingga selalu ngangeni! Buktinya?
Mandiri Jogja Marathon!
Event Sport Tourism Mandiri Jogja Marathon yang tahun 2019 ini memasuki edisi ke-3 (tiga), menawarkan rute dengan panorama indah khas alam Jogjakarta, merupakan salah satu bukti terkuat bahwa Jogjakarta memang destinasi wisata alam, budaya dan sejarah yang selalu ngangeni siapapun yang pernah bersua dengannya.
Buktinya, 7500 pelari dari 11 negara berbeda tercatat ingin “kembali” menjadi peserta Mandiri Jogja Marathon 2019 yang akan menjelajahi keindahan alam, peninggalan sejarah serta merasakan sendiri kehangatan “budaya” masyarakat Jogja yang ramah, santun dan penuh tepo seliro dalam menyuguhkan kesenian lokal dan makanan tradisional di sepanjang rute marathon yang tersebar di 13 (tiga belas) desa serta 3 (tiga) daerah tujuan wisata utama di Jogjakarta, seperti Candi Prambanan, Candi Plaosan dan Monumen Taruna dengan aman dan nyaman.
Menurut data dari panitia, sebanyak 670 pelari akan mengikuti kategori full marathon, 1.530 pelari mengikuti kategori half marathon, 2.280 pelari mengikuti kategori 10K dan lebih dari 3 ribu pelari mengikuti kategori 5K. Dari seluruh peserta tersebut, sebanyak 85,31% berasal dari luar Yogyakarta dimana 121 diantaranya merupakan pelari asing dari 11 negara berbeda.
Melihat Istimewanya Jogja di Mandiri Jogja Marathon 2019
Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat, penuh selaksa makna
Tentu semua pasti familiar dengan bait pertama dari lirik lagu “Yogyakarta” yang pernah dipopulerkan oleh band Kla Project hampir 3 (tiga) dekade silam. Lirik yang ditulis oleh Katon Bagaskara, vokalis utama Kla Project itu semakin menguatkan pesan dari quote "Bali Wae Neng Jogja" yang sepertinya memang cocok menjadi tagline dari berbagai even terkait Jogja, termasuk event sport tourism tahunan Mandiri Jogja Marathon, karena akan selalu ada setangkup haru dalam rindu untuk Jogjakarta.
Edisi ke-3 (tiga) Mandiri Jogja Marathon tahun 2019 kali ini mengambil lokasi start dan finish di kawasan Candi Prambanan yang berjarak sekitar 17 kilometer arah timur laut dari pusat kota Jogjakarta , salah satu destinasi wisata utama di Jogjakarta yang sejak tahun 1991 telah ditetapkan oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia.
Opsi menjadikan Komplek Candi Prambanan sebagai lokasi start dan finish, merupakan ide yang cerdas dan ini dirasa sangat tepat! Selain bangunannya yang terkenal indah dan megah, salah satu komplek bangunan penting dari umat Hindu ini juga memiliki berbagai pesona yang sangat layak untuk dieksplor lebih jauh oleh para peserta lomba.
Mulai dari legenda kisah cinta Roro Jonggrang yang dramatis, kompleks bangunan candi megah yang terbagi dalam 3 zona yang terinspirasi dari ajaran kosmologi Hindu, yaitu pelataran njobo (luar), tengahan (tengah) dan njeron (dalam) sampai pertunjukan dramatari Legenda Roro Jonggrang yang dipentaskan dengan koreografi baru, akrobatik dan dramatik secara rutin di Ramayana Ballet Prambanan yang lokasinya masih di dalam Komplek Candi Prambanan.
Selain komplek candi Prambanan, para peserta Mandiri Jogja Marathon 2019 juga akan bertemu dengan beberapa komplek candi ternama lain di sepanjang rute lomba, salah satunya di Km 37 sampai Km 39.
Di lokasi ini, para pelari bisa menyaksikan indahnya Candi Plaosan Lor dan Plaosan Kidul, yaitu kompleks percandian Budha yang terletak di Dukuh Plaosan, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.
Sebagai komplek Candi Budha, Kompleks candi yang dibangun pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dan Sri Kahulunan pada zaman Kerajaan Medang, atau juga dikenal dengan nama Kerajaan Mataram Kuno ini ditandai oleh keberadaan kemuncak stupa, arca Buddha, serta candi-candi perwara (pendamping/kecil) yang berbentuk stupa.
Berikutnya, sebelum finish di Candi Prambanan, tepat di Km 40 terdapat Candi Bubrah yaitu salah satu candi Buddha yang saat ditemukan kondisinya dalam keadaan rusak atau bubrah (Bahasa Jawa). Lokasi candi ini masih berada di dalam kompleks Taman Wisata Candi Prambanan, yaitu di antara Percandian Rara Jonggrang dan Candi Sewu.
Secara administratif, candi yang menurut perkiraan, dibangun pada abad ke-9 pada zaman Kerajaan Mataram Kuno atau satu periode dengan Candi Sewu ini, terletak di Dukuh Bener, Desa Bugisan, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Klaten.
Candi bubrah yang baru selesai dipugar tahun 2017 yang lalu ini mempunyai ukuran 12 m x 12 m dan terbuat dari jenis batu andesit. Saat ditemukan masih terdapat beberapa arca Buddha, walaupun tidak utuh lagi.
Selain melintasi Candi-candi megah dengan arsitektur indah, di km di Km 26, pelari akan disambut oleh Monumen Taruna Perjuangan atau juga dikenal dengan nama Museum Pelataran, yaitu saksi bisu kisah perjuangan taruna Akademi Militer pada tahun 1949 yang terletak di Dusun Plataran, Desa Selomartani, Kecamatan Kalasan, Sleman.
Monumen ini untuk mengenang puluhan pejuang Indonesia yang sebagian besar adalah para taruna Militer Academy (MA) atau saat ini dikenal sebagai Akademi Militer (Akmil) yang gugur dalam pertempuran melawan Belanda, pasca terjadinya Agresi Belanda pada tanggal 24 Februari 1949.
Selain destinasi wisata berupa bangunan-bangunan bersejarah, rute Mandiri Jogja Marathon 2019 yang digelar untuk mempromosikan pola hidup sehat sekaligus mempromosikan pariwisata di Yogyakarta ini juga mempertontonkan eksotika alam dan budaya masyarakat Jogjakarta.
Pemandangan puncak gunung Merapi (2930 mdpl) salah satu titik terpenting dan istimewa dalam kosmologi kehidupan masyarakat Jawa, khususnya daerah Jogjakarta dan sekitarnya akan memanjakan mata para pelari mulai di km 13- 15.
Tidak hanya itu, hamparan sawah menghijau dengan latar pedesaan khas Jogjakarta yang sarat dengan kearifan lokal siap melanjutkan aksinya memanjakan mata semua pelari.
Di sepanjang rute lomba masyarakat tidak hanya sekedar menonton, tapi juga beraksi dengan aktifitas dan kreativitasnya masing-masing untuk memberikan tontonan dan hiburan kepada para pelari dan masyarakat yang melintas dengan menampilkan berbagai suguhan pentas seni.
Ada yang membagi-bagikan minuman dan kuliner daerah dengan memakai kostum Hanoman layaknya pemain wayang orang dalam cerita Legenda Ramayana, ada juga yang menyuguhkan ragam tari-tarian bahkan seni tradisional “kotekan lesung” yang disajikan oleh para ibu-ibu dengan pakaian adat Jawa lengkap, sehingga menarik perhatian para pelari dan masyarakat yang melintas di jalur lomba, bahkan beberapa pelari asing ada yang merasa perlu untuk berfoto dengan ibu-ibu tersebut.
Khusus untuk ragam kuliner khas daerah, masyarakat dan para pelari bisa menikmatinya di kawasan race village di seputar kompleks Candi Prambanan yang menjadi lokasi start sekaligus finish.
Event Mandiri Jogja Marathon 2019 memang seperti kantong ajaib-nya si Doraemon yang sanggup menyediakan semua kebutuhan pesertanya. Konsep sport tourism yang diusung benar-benar menghadirkan event yang lebih dari sekedar lomba!
Bahkan menjadi inspirasi segar bagi masyarakat untuk menerapkan konsep gaya hidup sehat, yaitu menggabungkan olahraga dan wisata dalam sebuah event.
Kedepan, tren wisata yang unik dan anti mainstream dengan menjelajahi kearifan budaya, alam, sejarah dan kuliner masyarakat Jogja dengan berlari ini, sangat layak menjadi agenda tahunan sekaligus referensi bagi semua masyarakat di seluruh pelosok negeri untuk ikut mencobanya!
Karena, jika menyimak kronologi event Mandiri Jogja Marathon 2019 ini, seperti mendapat panggilan dari seorang ibu yang berdiri di muara pintu dengan senyuman hangat dan rentangan tangan yang siap memberi pelukan yang hangat!
“Bali Wae Neng Jogja” Nduk-le!